Sabtu, 23 Juni 2012

peran wanita dalam dakwah Rasulullah SAW

Ketika Rasulullah SAW diutus ke dunia, beliau bersabda, “Sesungguhnya wanita itu adalah pendamping pria.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Sejak saat itu paradigma pemikiran dan perlakuan terhadap wanita berubah seratus delapan puluh derajat. Derajat wanita diangkat dan dimuliakan. Wanita dikatakan sebagai pendamping pria karena pada setiap kesuksesan seorang pria, pasti ada peran wanita yang sangat signifikan. Apakah peran sebagai seorang ibu atau seorang istri. Banyak tokoh-tokoh menjadi penting dan terkenal lantaran ditopang oleh peran wanita. Maka, atas perannya yang demikian, wanita sering disebut sebagai tokoh penting di belakang layar.
Peran wanita Muslimah dalam jihad Rasulullah Saw. amat signifikan. Sebagian besar mereka yang berhijrah ke Habasyah adalah bersama istri-istri mereka. Bahkan sejarah Islam mencatat bahwa manusia yang pertama kali menyambut dakwah Islam adalah seorang wanita, yaitu Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah Saw. Dan manusia pertama yang syahid di jalan Allah juga seorang wanita, yaitu Sumayyah.
Selain Khadijah Ra. dan Sumayyah, masih banyak wanita-wanita Islam yang namanya abadi. Di antara mereka ada Aisyah Ra., Ummu Sulaim, Sumayyah, Nusaibah, Asma binti Abu Bakar, dan masih banyak wanita lain yang memegang peranan penting dalam perintisan dakwah Rasulullah Saw. di Mekkah dan Madinah. Dalam kitab-kitab sirah (sejarah) dikisahkan, setelah Rasulullah Saw. menerima wahyu pertama di gua Hira, beliau pulang dalam keadaan menggigil. Tubuhnya gemetar ketakutan. Setibanya di rumah, Beliau meminta istrinya, Khadijah Ra., menyelimuti tubuhnya. Lalu, Khadijah menyelimuti dan mendekap tubuh Rasulullah Saw. dengan penuh kasih sayang, hingga hilang rasa takutnya. Khadijah tidak langsung menanyakan apa yang telah terjadi pada suaminya, hingga Rasulullah Saw. sendiri berkata, “Wahai Khadijah, tahukah engkau mengapa tubuhku tadi gemetar?” Belum sempat Khadijah menjawab, Rasulullah berkata lagi, “Sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku sendiri.” Khadijah menjawab, “Tidak! Bergembiralah! Demi Allah, Allah sama sekali tidak akan membuat anda kecewa. Anda seorang yang bersikap baik kepada kaum kerabat, selalu berbicara benar, membantu yang lemah, menolong yang sengsara, menghormati tamu, dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.” Mendengar ucapan itu, Nabi menjadi tenang.
Jawaban Khadijah bukanlah sekadar untuk membesarkan hati Nabi, tapi merupakan pengungkapan fakta yang sesungguhnya. Nabi Muhammad Saw. sejak kecil telah menginvestasikan kebaikan di tengah-tengah masyarakat. Sebuah fakta perlu medapatkan pengakuan dari orang lain agar menjadi nilai universal yang didukung oleh masyarakat luas. Rasulullah Saw. bukan tidak yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata atas bimbingan wahyu. Tapi beliau ingin tahu apakah dakwahnya diterima masyarakat.
Sebagai istri, Khadijah Ra. telah mengambil sikap cerdas, yaitu memberikan dukungan total terhadap dakwah sang suami. Bagaimana jika Khadijah memberikan pernyataan yang tidak menenangkan jiwa? Tentu Nabi Saw. akan merasa sedih. Karena bagaimanapun, seorang Rasul adalah manusia juga yang membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat yang dicintainyainya. Dan Khadijah Ra. telah memberi andil besar dalam membangun dakwah Rasulullah Saw.
Kisah lain, suatu ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq didampingi Rasulullah Saw. mendatangi tokoh-tokoh musyrikin Quraisy yang sedang berkumpul dekat Ka’bah. Setelah duduk di tengah-tengah mereka, Abu Bakar berbicara mengajak para hadirin untuk beriman dan beribadah kepada Allah dan Rasul-Nya serta tidak mempersekutukan Allah dengan yang selain-Nya.
Sudah diduga, pidato Abu Bakar membuat wajah pemuka musyrikin Quraisy memerah. Hati mereka panas menggelegak. Seolah-olah mereka dihina. Seketika itu juga, para pemuka Quraisy dan pemudanya menyerang Abu Bakar dengan pukulan bertubi-tubi. Rasulullah Saw. berusaha melindungi Abu Bakar. Namun, banyaknya tinju yang mengarah ke wajah Abu Bakar sulit dibendung. Salah seorang pemuda Quraisy bernama ‘Atabah bin Rabi’ah menanggalkan sepatunya, lalu memukulkannya ke wajah Abu Bakar. Darah pun mengalir dari hidung dan mulut Abu Bakar. Luka memar membiru menghiasi pipi dan matanya. Banu Tamim, kabilah Abu Bakar, datang melerai dan menarik orang-orang yang menganiaya Abu Bakar. Empat pemuda Banu Tamim lalu membawa Abu Bakar pulang ke rumahnya.
Melihat anaknya terkapar berlumuran darah dan tak bergerak, Salma, ibunda Abu Bakar menangis dan memanggil-manggil nama kecil Abu Bakar. “Atiq…Atiq…Atiq!” Abu Bakar tidak menjawab panggilan ibunya. Dia masih tidak sadarkan diri.
Ibunda Abu Bakar membersihkan luka-luka diwajah anaknya dengan penuh kasih sayang. Tangannya memijat-mijat telapak tangan Abu Bakar agar anaknya itu segera siuman. Tubuh Abu Bakar mulai bergerak. Salma bertanya, “Bagaimana perasaanmu sekarang, Abu Bakar?”
Abu Bakar balik bertanya, “Bagaimana keadaan Rasulullah.”
“Kami tidak tahu,” jawab Salma. Abu Quhafah, sang ayah, hanya diam saja mendengarkan percakapan istri dan anaknya.
“Pergilah ibu temui Fathimah binti Khaththab, tanyakan kepadanya kabar Rasulullah,” pinta Abu Bakar. Salma segera menemui Fathimah dan menjelaskan apa yang menimpa Abu Bakar. Keduanya lalu menemuinya dan duduk di samping Abu Bakar yang masih terkapar.
“Rasulullah selamat dan kini berada di rumah Ibnul Arqam,” jelas Fathimah.
Abu Bakar berkeras untuk bertemu Rasulullah Saw. Malam itu juga, ibunya dan Fathimah memapah Abu Bakar menemui Rasulullah. Rasulullah bangkit dan menyambut Abu Bakar sambil mendoakannya. Salma, ibunda Abu Bakar mengucapkan syahadat di hadapan Rasulullah Saw. Penggalan kisah ini menggambarkan betapa besar peran Salma dan Fathimah dalam menyelesaikan “masalah” yang dihadapi Abu Bakar. Di saat Abu Quhafah, ayah Abu Bakar, dan para pemuda Banu Tamim bingung melihat kondisi yang menimpa Abu Bakar, Salma dan Fathimah tampil sebagai “decision maker”.
Keislaman Utsman bin ‘Affan pun tak luput dari peran seorang wanita, Su’da binti Kariz, bibinya. Suatu ketika Su’da bertamu ke rumah saudara perempuannya Arwa binti Kariz, ibunda Utsman, untuk menceritakan kabar kelahiran seorang Rasul dengan membawa agama yang lurus.
Utsman menyambut hangat kedatangan bibinya, dan menanyakan berita yang akan disampaikannya. Dengan senang hati Su’da menceritakan tentang Muhammad Rasulullah yang membawa agama kebenaran. Utsman sebenarnya tertarik dengan berita itu, tapi ia cepat mengalihkan pembicaraan ke seputar keluarga.
Malamnya Utsman tak bisa tidur lantaran kabar tentang Muhammad yang diceritakan bibinya terus terngiang di telinga. Ia heran, mengapa kabar itu terus mengganggu pikirannya. Ternyata Su’da amat baik dan runut dalam menceritakan kabar kerasulan Muhammad Saw. sehingga amat membekas di pikiran Utsman.
Paginya, ketika berangkat ke kebun, Utsman bertemu teman akrabnya, Abu Bakar. Melihat wajah Utsman yang agak lain, Abu Bakar bertanya, “Apa yang sedang kamu pikirkan, Utsman?”
“Tidak ada,” jawabnya. “Hanya saja kemarin bibiku menceritakan tentang kehadiran seorang Rasul di tengah-tengah kita. Sejak itu, berita itu terus mengganggu pikiranku,” lanjut Utsman.
Abu Bakar membenarkan berita yang disampaikan Su’da kepada Utsman, lalu mengajaknya menemui Rasulullah Saw. Tak berpanjang kata, Utsman menyatakan diri masuk Islam.
Islamnya Hamzah bin Abdul Mutholib juga tak lepas dari peran seorang wanita, yaitu ibunya. Pada suatu hari ibunda Hamzah menceritakan kasus penghinaan dan penganiayaan yang menimpa Nabi Muhammad oleh Abu Jahal. “Hai Abu Imarah (nama panggilan Hamzah)! Apa yang hendak kau perbuat seandainya engkau melihat sendiri apa yang dialami kemenakanmu, Muhammad. Muhammad dimaki-maki dan dianiaya oleh Abul Hakam bin Hisyam (Abu Jahal), lalu ditinggal pergi sementara Muhammad tidak berkata apa-apa kepadanya,” ujar ibunda Hamzah.
Mendengar cerita itu, raut muka Hamzah memerah dan pergi menemui Abu Jahal yang saat itu tengah berkumpul bersama teman-temannya. Tanpa ba-bi-bu Hamzah memukul Abu Jahal dengan busurnya hingga berdarah. Hamzah berkata, “Engkau berani memaki Muhammad? Ketahuilah aku telah memeluk agamanya!”
Begitupun keislaman Umar bin Khaththab tak lepas dari peran adik perempuannya Fathimah. Waktu itu Umar sedang marah dan mencari Muhammad untuk dibunuh. Di tengah jalan ada orang yang memberitahu bahwa adiknya Fathimah sudah masuk Islam. Umar pun mengurungkan niat mencari Rasulullah dan berbalik ke rumah Fathimah yang dinilainya telah berkhianat dari agama nenek moyang. Umar menyerbu ke dalam rumah adiknya lalu memukul Fathimah hingga berdarah. Ternyata darah yang mengucur dari wajah Fathimah meluluhkan hati Umar. Saat itu Umar melihat secarik kertas yang berisi ayat Al-Qur’an. Ia amat terpesona dan berkata, “Alangkah indahnya dan mulianya kalimat ini.” Setelah itu Umar menemui Rasulullah Saw. dan menyatakan keislamannya.
Dari kisah-kisah di atas, tampak bahwa wanita dengan segala kelebihannya mampu berperan penting dalam perjalanan dakwah di masa Rasulullah Saw. Saat ini Islam membutuhkan wanita-wanita yang memiliki semangat seperti Khadijah, ‘Aisyah, Sumayyah, Ummu Sulaim, Asma, dan Fathimah untuk memperbaiki umat dan bangsa yang tengah meradang.
Wallahu a’lam bishshawab.

diambil dari kota santri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN TEMPATKU

 sekalipun memaksa, rusa tak pernah bisa sekawan dengan harimau. Sebaik apapun rusa, ketika harimau lapar mereka akan tetap dimakannya. hidu...