Ketika Rasulullah SAW diutus ke dunia, beliau bersabda, “Sesungguhnya
wanita itu adalah pendamping pria.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Sejak saat itu paradigma pemikiran dan perlakuan terhadap wanita
berubah seratus delapan puluh derajat. Derajat wanita diangkat dan
dimuliakan. Wanita dikatakan sebagai pendamping pria karena pada setiap
kesuksesan seorang pria, pasti ada peran wanita yang sangat signifikan.
Apakah peran sebagai seorang ibu atau seorang istri. Banyak tokoh-tokoh
menjadi penting dan terkenal lantaran ditopang oleh peran wanita. Maka,
atas perannya yang demikian, wanita sering disebut sebagai tokoh penting
di belakang layar.
Peran wanita Muslimah dalam jihad Rasulullah Saw. amat signifikan.
Sebagian besar mereka yang berhijrah ke Habasyah adalah bersama
istri-istri mereka. Bahkan sejarah Islam mencatat bahwa manusia yang
pertama kali menyambut dakwah Islam adalah seorang wanita, yaitu
Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah Saw. Dan manusia pertama yang
syahid di jalan Allah juga seorang wanita, yaitu Sumayyah.
Selain Khadijah Ra. dan Sumayyah, masih banyak wanita-wanita Islam
yang namanya abadi. Di antara mereka ada Aisyah Ra., Ummu Sulaim,
Sumayyah, Nusaibah, Asma binti Abu Bakar, dan masih banyak wanita lain
yang memegang peranan penting dalam perintisan dakwah Rasulullah Saw. di
Mekkah dan Madinah. Dalam kitab-kitab sirah (sejarah) dikisahkan,
setelah Rasulullah Saw. menerima wahyu pertama di gua Hira, beliau
pulang dalam keadaan menggigil. Tubuhnya gemetar ketakutan. Setibanya di
rumah, Beliau meminta istrinya, Khadijah Ra., menyelimuti tubuhnya.
Lalu, Khadijah menyelimuti dan mendekap tubuh Rasulullah Saw. dengan
penuh kasih sayang, hingga hilang rasa takutnya. Khadijah tidak langsung
menanyakan apa yang telah terjadi pada suaminya, hingga Rasulullah Saw.
sendiri berkata, “Wahai Khadijah, tahukah engkau mengapa tubuhku tadi
gemetar?” Belum sempat Khadijah menjawab, Rasulullah berkata lagi,
“Sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku sendiri.” Khadijah menjawab,
“Tidak! Bergembiralah! Demi Allah, Allah sama sekali tidak akan membuat
anda kecewa. Anda seorang yang bersikap baik kepada kaum kerabat, selalu
berbicara benar, membantu yang lemah, menolong yang sengsara,
menghormati tamu, dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.”
Mendengar ucapan itu, Nabi menjadi tenang.
Jawaban Khadijah bukanlah sekadar untuk membesarkan hati Nabi, tapi
merupakan pengungkapan fakta yang sesungguhnya. Nabi Muhammad Saw. sejak
kecil telah menginvestasikan kebaikan di tengah-tengah masyarakat.
Sebuah fakta perlu medapatkan pengakuan dari orang lain agar menjadi
nilai universal yang didukung oleh masyarakat luas. Rasulullah Saw.
bukan tidak yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata atas
bimbingan wahyu. Tapi beliau ingin tahu apakah dakwahnya diterima
masyarakat.
Sebagai istri, Khadijah Ra. telah mengambil sikap cerdas, yaitu
memberikan dukungan total terhadap dakwah sang suami. Bagaimana jika
Khadijah memberikan pernyataan yang tidak menenangkan jiwa? Tentu Nabi
Saw. akan merasa sedih. Karena bagaimanapun, seorang Rasul adalah
manusia juga yang membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat yang
dicintainyainya. Dan Khadijah Ra. telah memberi andil besar dalam
membangun dakwah Rasulullah Saw.
Kisah lain, suatu ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq didampingi Rasulullah
Saw. mendatangi tokoh-tokoh musyrikin Quraisy yang sedang berkumpul
dekat Ka’bah. Setelah duduk di tengah-tengah mereka, Abu Bakar berbicara
mengajak para hadirin untuk beriman dan beribadah kepada Allah dan
Rasul-Nya serta tidak mempersekutukan Allah dengan yang selain-Nya.
Sudah diduga, pidato Abu Bakar membuat wajah pemuka musyrikin Quraisy
memerah. Hati mereka panas menggelegak. Seolah-olah mereka dihina.
Seketika itu juga, para pemuka Quraisy dan pemudanya menyerang Abu Bakar
dengan pukulan bertubi-tubi. Rasulullah Saw. berusaha melindungi Abu
Bakar. Namun, banyaknya tinju yang mengarah ke wajah Abu Bakar sulit
dibendung. Salah seorang pemuda Quraisy bernama ‘Atabah bin Rabi’ah
menanggalkan sepatunya, lalu memukulkannya ke wajah Abu Bakar. Darah pun
mengalir dari hidung dan mulut Abu Bakar. Luka memar membiru menghiasi
pipi dan matanya. Banu Tamim, kabilah Abu Bakar, datang melerai dan
menarik orang-orang yang menganiaya Abu Bakar. Empat pemuda Banu Tamim
lalu membawa Abu Bakar pulang ke rumahnya.
Melihat anaknya terkapar berlumuran darah dan tak bergerak, Salma,
ibunda Abu Bakar menangis dan memanggil-manggil nama kecil Abu Bakar.
“Atiq…Atiq…Atiq!” Abu Bakar tidak menjawab panggilan ibunya. Dia masih
tidak sadarkan diri.
Ibunda Abu Bakar membersihkan luka-luka diwajah anaknya dengan penuh
kasih sayang. Tangannya memijat-mijat telapak tangan Abu Bakar agar
anaknya itu segera siuman. Tubuh Abu Bakar mulai bergerak. Salma
bertanya, “Bagaimana perasaanmu sekarang, Abu Bakar?”
Abu Bakar balik bertanya, “Bagaimana keadaan Rasulullah.”
“Kami tidak tahu,” jawab Salma. Abu Quhafah, sang ayah, hanya diam saja
mendengarkan percakapan istri dan anaknya.
“Pergilah ibu temui Fathimah binti Khaththab, tanyakan kepadanya kabar
Rasulullah,” pinta Abu Bakar. Salma segera menemui Fathimah dan
menjelaskan apa yang menimpa Abu Bakar. Keduanya lalu menemuinya dan
duduk di samping Abu Bakar yang masih terkapar.
“Rasulullah selamat dan kini berada di rumah Ibnul Arqam,” jelas
Fathimah.
Abu Bakar berkeras untuk bertemu Rasulullah Saw. Malam itu juga,
ibunya dan Fathimah memapah Abu Bakar menemui Rasulullah. Rasulullah
bangkit dan menyambut Abu Bakar sambil mendoakannya. Salma, ibunda Abu
Bakar mengucapkan syahadat di hadapan Rasulullah Saw. Penggalan kisah
ini menggambarkan betapa besar peran Salma dan Fathimah dalam
menyelesaikan “masalah” yang dihadapi Abu Bakar. Di saat Abu Quhafah,
ayah Abu Bakar, dan para pemuda Banu Tamim bingung melihat kondisi yang
menimpa Abu Bakar, Salma dan Fathimah tampil sebagai “decision maker”.
Keislaman Utsman bin ‘Affan pun tak luput dari peran seorang wanita,
Su’da binti Kariz, bibinya. Suatu ketika Su’da bertamu ke rumah saudara
perempuannya Arwa binti Kariz, ibunda Utsman, untuk menceritakan kabar
kelahiran seorang Rasul dengan membawa agama yang lurus.
Utsman menyambut hangat kedatangan bibinya, dan menanyakan berita
yang akan disampaikannya. Dengan senang hati Su’da menceritakan tentang
Muhammad Rasulullah yang membawa agama kebenaran. Utsman sebenarnya
tertarik dengan berita itu, tapi ia cepat mengalihkan pembicaraan ke
seputar keluarga.
Malamnya Utsman tak bisa tidur lantaran kabar tentang Muhammad yang
diceritakan bibinya terus terngiang di telinga. Ia heran, mengapa kabar
itu terus mengganggu pikirannya. Ternyata Su’da amat baik dan runut
dalam menceritakan kabar kerasulan Muhammad Saw. sehingga amat membekas
di pikiran Utsman.
Paginya, ketika berangkat ke kebun, Utsman bertemu teman akrabnya,
Abu Bakar. Melihat wajah Utsman yang agak lain, Abu Bakar bertanya, “Apa
yang sedang kamu pikirkan, Utsman?”
“Tidak ada,” jawabnya. “Hanya saja kemarin bibiku menceritakan tentang
kehadiran seorang Rasul di tengah-tengah kita. Sejak itu, berita itu
terus mengganggu pikiranku,” lanjut Utsman.
Abu Bakar membenarkan berita yang disampaikan Su’da kepada Utsman, lalu
mengajaknya menemui Rasulullah Saw. Tak berpanjang kata, Utsman
menyatakan diri masuk Islam.
Islamnya Hamzah bin Abdul Mutholib juga tak lepas dari peran seorang
wanita, yaitu ibunya. Pada suatu hari ibunda Hamzah menceritakan kasus
penghinaan dan penganiayaan yang menimpa Nabi Muhammad oleh Abu Jahal.
“Hai Abu Imarah (nama panggilan Hamzah)! Apa yang hendak kau perbuat
seandainya engkau melihat sendiri apa yang dialami kemenakanmu,
Muhammad. Muhammad dimaki-maki dan dianiaya oleh Abul Hakam bin Hisyam
(Abu Jahal), lalu ditinggal pergi sementara Muhammad tidak berkata
apa-apa kepadanya,” ujar ibunda Hamzah.
Mendengar cerita itu, raut muka Hamzah memerah dan pergi menemui Abu
Jahal yang saat itu tengah berkumpul bersama teman-temannya. Tanpa
ba-bi-bu Hamzah memukul Abu Jahal dengan busurnya hingga berdarah.
Hamzah berkata, “Engkau berani memaki Muhammad? Ketahuilah aku telah
memeluk agamanya!”
Begitupun keislaman Umar bin Khaththab tak lepas dari peran adik
perempuannya Fathimah. Waktu itu Umar sedang marah dan mencari Muhammad
untuk dibunuh. Di tengah jalan ada orang yang memberitahu bahwa adiknya
Fathimah sudah masuk Islam. Umar pun mengurungkan niat mencari
Rasulullah dan berbalik ke rumah Fathimah yang dinilainya telah
berkhianat dari agama nenek moyang. Umar menyerbu ke dalam rumah adiknya
lalu memukul Fathimah hingga berdarah. Ternyata darah yang mengucur
dari wajah Fathimah meluluhkan hati Umar. Saat itu Umar melihat secarik
kertas yang berisi ayat Al-Qur’an. Ia amat terpesona dan berkata,
“Alangkah indahnya dan mulianya kalimat ini.” Setelah itu Umar menemui
Rasulullah Saw. dan menyatakan keislamannya.
Dari kisah-kisah di atas, tampak bahwa wanita dengan segala
kelebihannya mampu berperan penting dalam perjalanan dakwah di masa
Rasulullah Saw. Saat ini Islam membutuhkan wanita-wanita yang memiliki
semangat seperti Khadijah, ‘Aisyah, Sumayyah, Ummu Sulaim, Asma, dan
Fathimah untuk memperbaiki umat dan bangsa yang tengah meradang.
Wallahu a’lam bishshawab.
diambil dari kota santri
setiap manusia akan berjalan. berjalan biasa, berjalan pada kehidupan, dan berjalan lainnya. aku pun sama, aku akan bagikan apa saja yang ingin ku bagikan sebgai bukti aku berjalan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
BUKAN TEMPATKU
sekalipun memaksa, rusa tak pernah bisa sekawan dengan harimau. Sebaik apapun rusa, ketika harimau lapar mereka akan tetap dimakannya. hidu...
-
benar aku tersenyum, selalu setiap saat hanya sajaa... benar aku tertawa sekencangnya hanya saja... benar ku tak terluka sedalamn...
-
Kantos abdi gaduh pangalaman ngaraoskeun lini nu kacida ageungna. Harita simkuring masih keneh kelas 5 SD, emut keneh nuju ameng sareng rer...
-
aku benci menatap itu menatap ini melihat itu melihat ini merasa itu merasa ini aku benci menginjak itu menginjak ini meraba i...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar